Pengolahan Limbah B3

Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mengandung bahan yang dapat membahayakan manusia dan makhluk hidup lain. Limbah B3 perlu diolah, baik secara fisik, biologi, maupun kimia sehingga menjadi tidak berbahaya atau berkurang daya racunnya. Setelah diolah, limbah B3 masih memerlukan metode pembuangan yang khusus untuk mencegah resiko terjadi pencemaran.

1. Metode Pengolahan secara Kimia, Fisik, dan Biologi

Proses pengolahan limbah B3 secara kimia atau fisik yang umum adalah stabilisasi/solidifikasi. Stabilisasi atau solidifikasi adalah proses pengubahan bentuk fisik dan atau sifat kimia dengan menambahkan bahan pengikat atau senyawa pereaksi tertentu untuk memperkecil/membatasi kelarutan, pergerakan, atau penyebaran daya racun limbah, sebelum dibuang. Teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:

  1. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
  2. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
  3. Precipitation
  4. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
  5. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
  6. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing

Proses pengolahan limbah B3 secara biologi yang telah berkembang yaitu bioremedasi dan fitoremedasi.

1.  Bioremediasi

Bioremedasi adalah penggunan bakteri dan mikroorganisme lain untuk mendegradasi/mengurai limbah B3. Bioremediasi juga merupakan proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

Ada 4 teknik dasar yang biasa digunakan dalam bioremediasi :

  1. stimulasi aktivitas mikroorganisme asli (di lokasi tercemar) dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, optimasi pH, dsb
  2. inokulasi (penanaman) mikroorganisme di lokasi tercemar, yaitu mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransformasi khusus
  3. penerapan immobilized enzymes
  4. penggunaan tanaman (phytoremediation) untuk menghilangkan atau mengubah pencemar.

Bioremediasi juga merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzimenzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun.

Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gengen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.

Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

Jenis-jenis bioremediasi

Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:

  • Biostimulasi

Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.

  • Bioaugmentasi

Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.

  • Bioremediasi Intrinsik

Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.

2. Fitoremediasi

Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation; kata ini sendiri tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (= “tumbuhan”) dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium ( =”menyembuhkan”, dalam hal ini berarti juga “menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan”) (Anonimous, 1999). Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik Fitoremedasi juga merupakan penggunan tumbuhan untuk mengabsorbsi dan mengakumulasi bahan-bahan beracun dari tanah.

Metoda ini pertama kali dipacu oleh kebocoran reaktor nuklir di Chernobyl – Rusia pada tahun 1986, beberapa peneliti Amerika dan Ukraina telah melakukan penelitian terhadap kemampuan tanaman jenis Indian mustard untuk meminimalkan kandungan unsur cesium dan stronsium dalam tanah yang telah terpapar oleh senyawa radioaktif. Sedangkan di Iowa – AS, para peneliti mencoba pohon poplar untuk menurunkan kandungan senyawa pestisida jenis atrazine yang terpapar di dalam tanah dan air tanah.

Keuntungan paling besar dalam penggunaan fitoremediasi adalah biaya operasi lebih murah bila dibandingkan pengolahan konvensional lain seperti insinerasi, pencucian tanah berdasarkan sistem kimia dan energi yang dibutuhkan. Prinsip dasar dari teknologi fitoremediasi ini adalah memulihkan tanah terkontaminasi, memperbaiki sludge, sedimen dan air bawah tanah melalui proses pemindahan, degradasi atau stabilisasi suatu  kontaminan.

Proses dalam teknologi fitoremediasi ini berjalan secara alami dengan enam tahapan proses secara serial yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan / pencemar disekitarnya.

Phytoacumulation (phytoextraction), yaitu tumbuhan menarik zat kontaminan dari media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga Hyperacumulation. Akar tumbuhan menyerap polutan dan selanjutnya ditranslokasi ke dalam organ tumbuhan. Proses ini adalah cocok digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik. Spesies tumbuhan yang dipakai adalah sejenis hiperakumulator misalnya pakis, bunga matahari dan jagung.

Rhizofiltration (rhizo=akar), adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan menanam bunga matahari pada kolam yang mengandung zat radioaktif. Di dalam sistem hidroponik, sistem perakaran telah secara nyata dapat dipergunakan untuk menjelaskan metode rhizofiltrasi. Kontaminan di dalam air, setelah kontak dengan akar akan diabsorpsi dan kemudian tumbuhan dipanen akarnya hingga menjadi jenuh terhadap kontaminan. Akar tumbuhan mengadsorpsi atau presipitasi pada zone akar atau mengabsorpsi larutan polutan sekitar akar ke dalam akar. Spesies tumbuhan yang fungsional adalah rumput air seperti Cattail dan eceng gondok .

Phytostabilization, yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media. Proses ini akan mengurangi mobilisasi kontaminan dan mencegah berpindahnya ke air tanah atau udara. Teknik ini dapat digunakan untuk meningkatkan penutupan tajuk oleh tumbuhan yang toleran terhadap jenis kontaminan di lokasi tersebut. Menurut Cunningham et al.,(1995), ada tiga kemungkinan mekanisme yang umum terjadi pada proses fitostabilisasi;

(1) reaksi redoks;

(2) presipitasi kontaminan menjadi bentuk endapan; dan

(3) pengikatan bahan–bahan organik ke dalam bagian lignin tanaman. Proses ini secara tipikal digunakan untuk dekontaminasi zat-zat anorganik. Spesies tumbuhan yang biasa digunakan adalah berbagai jenis rumput, bunga matahari, dan kedelai.

Rhizodegradetion, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada disekitar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi atau bakteri

Mikroorganisme (ragi, fungi dan atau bakteria) mengkonsumsi dan menguraikan atau mengubah bahan organik untuk dipergunakan sebagai bahan nutrient. Beberapa jenis mikroorganisme dapat menguraikan bahan organik seperti minyak atau larutan yang berbahaya bagi manusia dan sebagai eco-receptors dan mengubah bahan-bahan berbahaya tersebut menjadi bahan kurang berbahaya melalui proses degradasi. Senyawa-senyawa alami yang dilepaskan oleh akar tumbuhan seperti zat gula, alkohol dan asam yang mengandung karbon organik berfungsi sebagai sumber nutrient bagi mikrobia tanah dan penambahan nutrient akan memacu aktivitas mikrobia tersebut.

Mekanisme rhizodegradasi yaitu dengan cara tumbuhan mengeluarkan dan mentransportasikan oksigen dan air ke dalam tanah. Tumbuhan juga menstimulasi biodegradasi melalui mekanisme lain seperti penyetopan metabolisme lain dan mentransportasikan oksigen atmosfer ke dalam daerah akar. Polutan diuraikan oleh mikroba dalam tanah, yang diperkuat/sinergis oleh ragi, fungi, dan zat-zat keluaran akar tumbuhan (eksudat) yaitu gula, alcohol, asam. Eksudat itu merupakan makanan mikroba yang menguraikan polutan maupun biota tanah lainnya. Proses ini adalah tepat untuk dekontaminasi zat organik. Spesies tumbuhan yang bisa digunakan adalah berbagai jenis rumput.

Phytodegradation, yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk menguraikan zat kontaminan yang memiliki molekul menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang lebih sederhana, yang dapat bergunan bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada batang, daun, akar atau diluar sekitar tanaman dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat proses degaradasi.

Phytovolatization, yaitu proses menarik dan transpirsi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan ynag tidak bebahaya lagi untuk selanjutnya diupakan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air dengan jumlah 200 sampai dengan 1000 liter air perhari tiap batangnya. Kontaminan bisa mengalami transformasi sebelum lepas ke atmosfer. Kontaminan zat-zat organic adalah tepat menggunakan proses ini. Kontaminan dapat keluar melalui daun dan hasil volatilisasi masuk ke dalam atmosfer pada konsentrasi yang rendah. Beberapa senyawa organik dapat ditranspirasikan oleh tumbuhan merupakan subjek photodegradasi.

Ada 4 faktor yang mempengaruhi fitoremediasi yaitu :

1. Kemampuan daya akumulasi berbagai jenis tanaman untuk berbagai jenis polutan dan   konsentrasi, sifat kimia dan fisika, dan sifat fisiologi tanaman.

2. Jumlah zat kimia berbahaya

3. Mekanisme akumulasi dan hiperakumulasi ditinjau secara fisiologi, biokimia, dan molecular.

4. Kesesuaian sistem biologi dan evolusi pada akumulasi polutan.

Fitoremediasi juga memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan metode konvensional lain untuk menanggulangi masalah pencemaran, yaitu :

a) Biaya operasional relatif murah

b)  Tanaman bisa dengan mudah dikontrol pertumbuhannya.

c)Kemungkinan penggunaan kembali polutan yang bernilai seperti emas (Phytomining).

d)Merupakan cara remediasi yang paling aman bagi lingkungan karena memanfaatkan      tumbuhan.

e) Memelihara keadaan alami lingkungan

Walaupun memiliki beberapa kelebihan, ternyata fitoremediasi juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah kemungkinan akibat yang timbul bila tanaman yang telah menyerap polutan tersebut dikonsumsi oleh hewan dan serangga. Dampak negatif yang dikhawatirkan adalah terjadinya keracunan bahkan kematian pada hewan dan serangga tau terjadinya akumulasi logam pada predator-predator jika mengosumsi tanaman yang telah digunakan dalam proses fitoremediasi. Selain itu, membutuhkan waktu yang relatif lama untuk membersihkan limbah B3, terutama dalam skala besar dan dikhawatirkan membawa senyawa-senyawa beracun ke dalam rantai makanan di ekosistem

Beberapa penelitian telah membuktikan keberhasilan penggunaan tumbuhan untuk remediasi air tercemar. Muramoto dan Oki dalam Sudibyo (1989) menjelaskan, bahwa enceng gondok dapat digunakan untuk menghilangkan polutan, karena fungsinya sebagai sistem filtrasi biologis, menghilangkan nutrien mineral, untuk menghilangkan logam berat seperti cuprum, aurum, cobalt, strontium, merkuri, timah, kadmium dan nikel

2. Metode Pembuangan Limbah B3 dengan cara Sumur Dalam/ Sumur Injeksi (Deep Weel Injection)

Metoda ini yaitu dengan cara memompakan limbah tersebut melalui pipa ke lapisan yang dalam, di bawah lapisan-lapisan ait tanah dangkal maupun air tanah dalam. Secara teoritis, limbah B3 ini akan terperangkap di lapisan itu sehingga tidak akan mencemari tanah maupun air. Sebenarnya tetap ada kemungkinan terjadi kebocoran atau korosi pipa, atau pecahnya lapisan batuan sehingga limbah merembes ke lapisan tanah.

Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.

Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.

Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.

Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.

Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:

Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.

Tinggalkan komentar